Pengantar Psikologi Faal
A.
Pengertian
B.
Pendekatan Biopsikologi
C.
Perilaku Biologis
1. Apakah Perilaku Disebabkan oleh Faktor
Psikologis atau Faktor Fisiologis
2.
Apakah Perilaku Merupakan Hasil Keturunan (Genetik/Nature) atau Hasilc
Belajar (Nurture)
3.
Masalah-masalah yang Muncul dari Cara Berpikir Dikotomi
D.
Perkembangan Perilaku (lnteraksi antara Faktor Genetik dan Pengalaman)
1.
Seleksi Perkembangbiakan Tikus "Pintar" dan Tikus "Bodoh"
2.
Phenylketonuria: Penyimpangan Metabolisme Gen Tunggal
Psikologi
Faal sebagai cabang Psikologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik
dalam pengembangan teoritisnya maupun dalam penerapannya. Pada dekade terakhir,
Psikologi Faal dikembangkan oleh dunia barat sebagai cabang ilmu yang disebut
BIOPSIKOLOGI. Tujuan dari Psikologi Faal atau Biopsikologi adalah memahami
perilaku berdasarkan aspek biologisnya. Dalam bab ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai pengertian dan kegunaan Psikologi Faa!.
A. PENGERTIAN
PSIKOLOGI
FAAL, berasal dari Psikologi dan Ilmu Faal. PSIKOLOGI adalah Ilmu yang mempelajari
perilaku manusia (Bigot, dkk, 1950), sedangkan ILMU FAAL adalah Ilmu yang mempelajari
tentang fungsi dan kerja alat-alat dalam tubuh.
]adi
Psikologi Faal adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya
dengan fungsi dan kerja alat-alat dalam tuhuh.
Dalam
mempelajari perilaku manusia kita mengenal adanya 3 fungsi utama yang mempengaruhi
perilaku individu, yaitu:
- fungsi kognisi (pikiran),
- jungsi afeksi (emosi),
- fungsi konasi (kemauan l kehendak).
Dalam
Psikologi Faal, titik berat perhatian kita adalah meninjau kondisi faali atau kondisi biologis yang mempengaruhi fungsi-fungsi perilaku tersebut.
Sebelum
kita dapat memahami fungsi dan kerja alat-alat tubuh yang mempengaruhi perilaku
seseorang, lebih dahulu kita perlu mengenal anatomi alat-alat tubuh. ANATOMI adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari susunan atau struktur alat-alat tubuh. Oleh karena
itu dalam Psikologi Faal, selain kita belajar fungsi dan kerja alat-alat tubuh
yang mempengaruhi perilaku, kitajuga akan mengenal anatomi dari alat-alat
tubuh.
Jadi
dalam Psikologi Faal akan dipelajari:
- Alat-alat yang bekerja pada waktu
fungsi kognitif, afektif, dan konasi berlangsung
- Proses-proses yang berlangsung pada
alat-alat tubuh tersebut
Menurut
fungsinya, alat-alat tubuh dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
- Alat-alat untuk Pertukaran Zat
- Alat-alat untuk Reproduksi
- Alat-alat untuk Gerak
- Alat-alat untuk Koordinasi
Meskipun
dibagi atas kelompok-kelompok seperti tersebut diatas, namun fungsi dari kelompok-kelompok
tersebut berkaitandengan erat. Contohkonkritnyadapat kita simak dari uraian
berikut ini;
Organisme
perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan atau bereaksi terhadap perubahandi
dalam lingkungan untuk mempertahankan hidup (antara lain digunakan alat-alat
untuk reproduksi dan alat-alat gerak). Untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam mempertahankan
hidup ia memerlukan alat-alat koordinasi, tanpa alat-alat koordinasi tidak dapat
terjadi koordinasi antara alat-alat tubuh dan tidak dapat terjadi penyesuaian
dengan lingkungan atau reaksi terhadap perubahan dalam lingkungan, sedangkanalat-alat
koordinasi memerlukan alat-alat pertukaran zat agar dapat berfungsi.
Yang
termasuk dalam alat-alat koordinasi adalah:
1.
Alat-alat Indera
2.
Susunan Saraf Pusat
3. Susunan Saraf Perifer
4.
Alat-alat Endokrin
Alat-alat
tersebut bekerja pada saat dilakukan fungsi kognitif, afektif, maupun konasi. Oleh
karena itu dalam Psikologi Faal ini titik beratkita pada alat-alat koordinasi,
karena tanpa alat-alat koordinasi tidak dapat terjadi koordinasi antara, alat-alat
tubuh dan tidak dapat terjadi penyesuaian dengan lingkungan atau reaksi
terhadap perubahan dalam lingkungan.
B.
PENDEKATANBIOPSIKOLOGI
BIOPSIKOLOGI
adalah cabang dari Ilmu Saraf yang berkaitan dengan segi biologis dari perilaku.
Beberapa ahli menyebutnya dengan "psikobiologi" atau "perilaku
biologis" atau "Behavioral Neuroscience" karena menitik beratkan
pada pendekatan biologi dalam memahami psikologi. Jadi Psikologi Faal dalam
perkembangan baru juga disebut dengan BIOPSIKOLOGI.
Sejak
Psikologi lahir, pendekatan secarsa biopsikologi secara implisit sudah
diungkapkan, namun secara eksplisit baru muncul pada karya D.O Hebb (1949),
"Organization of Behavior". Dalam karyanya tersebut, Hebb
mengemukakan teori yangkomprehensif tentang fenomena psikologi yang berkaitan
dengan persepsi, emosi, pikiran dan memori yang mungkin dikontrol melalui
aktivitas otak. Teori tersebut merupakan salah satu dasar yang penting dalam
menguraikan dan mengkonkritkan pembahasan tentang perilaku manusia yang
kompleks dan kasat mata.
Meskipun
BIOPSIKOLOGI tergolong ilmu yang masih muda, namun ia memiliki perkembangan
yang cepat dan memiliki kaitan yang erat dengan disiplin ilmu yang lain, diantaranya:
- Biological Psychiatry, membahas tentang
biologi yamg berkaitan dengan penyimpangan psikiatris dan perlakuan (treatment)
terhadap penyimpangan tersebut melalui manipulasi otak.
- Developmental Neurobiology, membahas tentang perubahan
sistem saraf sejalan dengan kemasakan dan usia; neurobiology biasa juga
disebut dengan neuroscience
- Neuroanatomy, mempelajari tentang
struktur atau anatomi sistem saraf
- Neurochemistry, mempelajari
proses-proses kimiawi yang muncul akibat aktivitas saraf, terutama proses
yang mendasari transmisi sinyal melalui sel-sel saraf
- Neuroendocrinology, mempelajari interaksi
antara sistem saraf dengan kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon
yang diproduksinya
- Neuroethology, mempelajari kaitan
antara sistem saraf dan perilaku yang muncul dalam lingkungan alami hewan
dan dalam lingkungan laboratorium yang dikontrol ketat
- Neuropathology, mempelajari
penyimpangan sistem saraf
- Neuropharmacology, mempelajari efek
obat-obatan pada sistem saraf, terutama yang mempengaruhi transmisi sel
saraf
- Neurophysiology, mempelajari respon
sistem saraf, terutama yang terlibat dalam transmisi sinyal elektronik
melalui sel-sel saraf dan antara sel-sel saraf
Biopsikologi
sebagai cabang ilmu dari Psikologi dibagi dalam 5 bagian utama, yaitu:
- Physiological Psychology, fokusnya pada manipulasi
sistem saraf melalui operasi, terapi elektrik, dan terapi kimiawi dalam
kondisi eksperimen yang dikontrol dengan ketat. Jadi dalam eksperimennya
biasa digunakan hewan sebagai subjek penelitian.
- Psychopharmacology, bergerak dalam bidang
yang sarna seperti Physiological Psychology, namun fokusnya lebih kepada
obat-obatan (zat kimia) yang mempengaruhi sistem saraf dan selanjutnya
berpengaruh pada perilaku. Pengaruh zat kimia terhadap otak ini tidak
semata-mata berkonotasi buruk (misalnya pengaruh zat depresif (melemahkan)
terhadap aktivitas otak), tetapijuga berusaha menemukan zat-zat kimia yang
berguna dalam penyembuhan kerusakan otak dan zat-zat yang dapat mengurangi
kecanduan obat.
- Neuropsychology, mempelajari
kemunduran perilaku akibat kerusakan otak.
Pengembangan
ilmu dalam neuropsychology umumnya tidak dapat dilakukan melalui eksperimen
tetapi berdasarkan kasus yang ada atau melalui penelitian quasieksperimen terhadap
pasien-pasien yang menderita kerusakan otak yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan,
atau operasi (karena kita tidak dapat merusak otak dengan segaja untuk
melakukan penelitian).
Disiplin
ilmu ini memfokuskan pada bagian otak yang disebut dengan neokorteks, yaitu bagian
luar dari cerebral hemispheres yang paling mudah rusak oleh operasi maupun
kecelakaan.
Neuropsychology
paling banyak diterapkan dalam cabang-cabang ilmu biopsikologi karena alat-alat
tes yang digunakan dalam asesmen neuropsikologi sangat membantu dalam
menentukan diagnosa dan memberikan terapi yang tepat, selain bermanfaat pula untuk
perawatan lanjut dan konseling bagi penderita kerusakan otak.
Contohnya
dapat kita lihat pada kasus di bawah ini:
R,
seorang laki-laki kidal berusia 21 tahun, pernah mengalami benturan kepala di
dashboard
mobil pada kecelakaan lalu lintas 2 tahun yang lalu. Setelah kecelakaan ia pingsan
beberapa saat dan mengalami amnesia dalam jangka waktu yang sangat pendek.
Selain itu tak tampak luka lain selain jahi an di pelipis. Sebelum kecelakaan
itu terjadi, R adalah seorang mahasiswa fakultas hukum yang berprestasi
(meskipun ia berasal dari jurusan IPA semasa SMA tetapi ia sangat tertarik pada
bidang hukum).
Tetapi
satu tahun setelah kecelakaan ia mengalami beberapa masalah dalam belajar, ia
selalu kesulitan dalam membuat paper dan mencapai nilai tinggi dalam
pelajaran-pelajaran yang memerlukan daya ingat, bahkan sering tidak lulus
meskipun ia merasa sudah belajar jauh lebih keras daripada sebelwnnya. Dari
neurolo g didapatkan hasil EEG dan CT-scan yang normal, artinya tidak dideteksi
adanya abnormalitas dalam otak R. Akhirnya R melakukan serangkaian asesmen neuropsikologi
yang menghasilkan beberapafakta yang menarik.Pertaina, R, adalah salah satu
dari 1/3 populasi orang kidal yang pusat bahasanya terletak di bagian kanan
hemisphere dan bukan di bagian kiri hemisphere seperti orang kidal pada
umumnya. Fakta ini tidak hanya cocok untuk mengintepretasi kesulitan belajar
yang dialami R (karena hasil tes IQ-nya superior tetapi kemampuan ingatan verbal
dan kemampuan membacanya sangat rendah), tetapijuga membuktikan bahwa R
memerlukan penanganan medis (operasi otak) karena kemungkinan bagian kanan lobus
temporalnya (temporal lobe) mengalami sedikit kerusakan saat terjadi kecelakaan
sehingga menimbulkan masalah dalam kemampuan bahasanya. Kedua, berdasarkan
hasi/ asesmen dan diagnosa secara nerupsikologis di atas, kita dapat memberikan
saran bahwa sebaiknya R tidak terjun dalam lapangan pekerjaan atau studi yang
banyak membutuhkan kemampuan bahasa dan ingatan. Akhirnya R memutuskan untuk
menekuni bidang arsitektur. (Pinel, 1993).
- Psychophisiology, fokusnya mempelajari
kaitan antara fisiologi dan perilaku dengan cara mencatat respon-respon
fisiologis manusia yang disebabkan oleh reaksi-reaksi psikologisnya
(seperti atensi, emosi, proses penerimaan informasi). Prosedur
penelitiannya dilakukan secara non-invasive, yaitu pencatatan
reaksi yang diambil dari permukaan tubuh (tidak mengoperasi bagian
dalamnya). Umumnya yang digunakan untuk mengukur aktivitas otak adalah
electroencephalogram (EEG) yang ditempelkan di kulit kepala. Selain
aktivitas otak, reaksi fisiologis lain yang umumnya dicatat dalam
psikofisiologi adalah ketegangan otot, gerakan mata, sistem saraf otonom
(yang menimbulkan refleks, seperti detak jantung, tekanan darah, dilatasi
pupil mata dan getaran elektrik di kulit).
- Comparative Psychology, bagian dari biopsikologi yang lebih menekan kan pada perilaku
biologis daripada perilaku yang disebabkan oleh mekanisme sistem saraf.
Comparative psychology mempelajari perbandingan perilaku
spesies yang berbeda-beda dan fokusnya pada genetik, evolusi, dan perilaku
adaptasi dari berbagai spesies. Berbeda dengan ahli ahli ethology yang
melakukan penelitian quasi-eksperimenpada spesies di lingkungan asalnya,
maka comparative psychology cenderung menciptakan lingkungan yang semi terkontrol
dalam laboratorium untuk melihat reaksi perilaku spesies.
c.
PERILAKU BIOLOGIS
Tendensi
manusia adalah untuk berpikir secara dikotomi, baik-buruk, benar-salah, menarik
tidak menarik, dan sebagainya. Ini adalah dari berpikir yang sederhana.
Demikian juga halnya bila kita dihadapkan pada masalah perilaku, pertanyaan
yangbiasa muncul adalah:
1) Apakah perilaku itu bersifat psikologis
atau fisiologis?
(2)
Apakah perilaku itu hasil keturunan atau hasil belajar?
1.
Apakah Perilaku Disebabkan oleh Faktor Psikologis atau Faktor Fisiologis? Pendapat
ini muncul sejak zaman Renaissance dimana ilmu-ilmu yang ada berkembang berdasarkan
pemikiran dan dogma-dogma yang belum dibuktikan lewat kenyataan. Menurut
dogma-dogmayangberlaku saat itu,perilakumanusia semata-mata disebabkan oleh
hukum alam (faktor fisiologis).
Beberapa
ahli ilmupengetahuan ingin membuktikanfenoma perilaku melalui kenyataan dan
bukan melalui dogma dan pemikiran filsafati. Pada zaman renaissance tersebut sering
terjadi. bentrokan pendapat antara ahli yang berpikiran modem dan berpikiran
dogmatis.
Sampai
muncul Rene Descartes (dibaca: Day Cart) yang menjembatani kedua perbedaan tersebut
dengan menyatakan bahwa dunia ini terdiri dari dua elemen utama, yaitu:
(I)
Benda benda Fisik, atau benda-benda yang
perilakunya disesuaikan dengan hukum
alam dan dapat dijadikan objek penelitian ilmiah,
(2)
Pikiran Manusia (iiwa atau spirit) yang
tidak berkaitan dengan benda fisik tetapi
mengkontrol perilaku manusia.
Menurut
Descartes, bagian tubuh manusia, termasuk didalamnya adalah otak, adalah bagian
tubuh yang sifatnya sangat fisikoOleh karena itu adalah perbedaan antara otak
dan pikiran manusia. Otak bersifat sangat fisik, sedangkan pikiran manusia yang
mengontrol perilaku bersifat psikologis.
Perdebatan
mengenai perilaku itu hasil keturunan atau hasil belajar sudah banyak dikenal melalui
konsep nature (alami/keturunan) vs. nurture (hasil pengaruh
lingkungan/belajar).
Kebanyakan
ahli dari Amerika, khususnya Amerika Utara adalah penganut behaviorism yang
menyatakan bahwa perilaku adalah sepenuhnya hasil dari pengaruh lingkungan (misalnya
melalui proses belajar).
Penelitian
John B.Watson (bapak behaviorism) menunjukkan bahwa bayi-bayi keturunan penipu,
perampok, pembunuh, dan pelacur dapat tumbuh tanpa sarna sekali menunjukkan perilaku
yang mirip dengan orangtuanya apabila diasuh dalam lingkungan yang sarna sekali
berbeda dengan lingkungan orangtuanya. Sebaliknya, anak seorang pengusaha yang
pintar dan sukses dapat menjadi sangat bodoh dan tumbuh menjadi perampok
apabila dibesarkan dalam lingkungan yang buruk.
Berlawanan
dengan pendapat di atas, para ahli Eropa yang menganut paham ethology menyatakan
bahwa perilaku didasarkan pada instinctive behavior, yaitu perilaku yang umumnya
muncul pada spesiesyangsarnameskipuntidakadakesempatan untuk mempelajari perilaku
itu terlebih dahulu. Contohnya perilaku menghisap pada bayi. Meskipun pada perkembangannya
perilaku instinktif ini kurang banyak dianut orang, tetapi kondisi inilah yang
menandai perkembangan awal psikologi.
3.
Masalah-masalah yang Muneul dari Cara Berpikir Dikotomi
a. Berpikir dikotomi
mengenai perilaku yang disebabkan oleh faktor psikologis atau fisiologis Cara berpikir dikotomi mengenai
perilaku yang semata-mata disebabkan oleh faktor psikologis dapat menimbulkan
masalah karena proses psikologis yang paling kompleks sekalipun (memori,emosi) dapat
tidak berlangsung apabila terjadi kerusakan otak (fisiologis). Sebaliknya, yang
memiliki pendapat bahwa perilaku semata-mata disebabkan oleh faktor fisiologis
juga dapat menjadi masalah, karena pada kenyataannya banyak perilaku-perilaku
makhluk hidup (non manusia) yang bisa menyerupai manusia meskipun secara
fisiologis berbeda dengan manusia.
Kedua
masalah yang timbul di atas (sebab psikologis dan sebab fisiologis) sebenarnya bermuara
pada satu masalah utama yang menyebabkan perilaku, yaitu self-awareness (kesadaran
diri). Contoh kesadaran diri yang berkaitan dengan perilaku tidak
semata-mata disebabkan oleh aspek psikologis dapat dijelaskan melalui fenomena asomatognosia,
yaitu kurangnya kesadaran terhadap bagian tubuhnya
sendiriyangumumnyadialami oleh individu yang mengalami kerusakan pada bagian
kanan lobus parietal-nya sehingga bagian tubuh sebelah kirinya tidak dirasakan.
Contohnya kasus "orang yang terjatuh dari tempat tidur" (Sacks, 1985;
Pinel 1993).
Seorang
pasien yang mengalami asomatognosia dirawat di sebuah rumah sakit. Sebagai
pembuktiankesadaran diri terhadap kakinya, Sacks meletakkan sebuah potongan kaki
orang lain yang menjadi korban kecelakaan disamping tempat tidur pasien
tersebut ketika ia tertidur lelap. Saat terbangun, ia begitu kaget melihat
sepotollg kaki yang mengerikan terletak ditempat tidurnya, ia lalu melemparkan
kaki itu dan berteriak, "Dokter... kaki siap
yang mengerikan itu?". Sacks menjawab, "Itu
kakimu, apakah kamu tidak tahu bahwa itu kakimu sendiri". Pasien itu kemudian
turun dari tempat tidur dan berjalan ke tempat kaki yang tadi dibuangnya dan
dipegangnya kaki itu, "Ah dokter cuma bercanda!", Sacks menjawab,
"Lihat itu benar-benar kakimu, tetapi kalau kamu merasa itu bukan kakimu
lalu dimana kakimu yang sebenarnya?", pasien terlihat agak bingung dan kemudian
ia menjawab "saya tidak tahu... dimdna kaki saya dokter?, saya tidak menemukannya,
kaki saya hUang, kaki saya hUang ". (Pinel, 1993)
Dalam
kasus tersebut secara fisik ia tetap dapat menggerakkan kedua kakinya, tetapi secara
psikologis ia gagal mencapai kesadaran bahwa kakinya masih ada dan tetap dapat bergerak.
Oleh karena itu terbukti bahwa perilaku tidak semata-mata disebabkan oleh
faktor psikologis.
Contoh
konkrit dari fenomena perilaku tidak semata-mata disebabkan oleh faktor fisiologis
dapat kita lihat dari penelitian Gallup
(1983) terhadap beberapa ekor simpanse yang bereksplorasi didepan cermin. Saat
mereka sudah terbiasa dengan cermin (simpanse sudah memiliki kesadaran diri
bahwa simpanse yang tampak dalam cermin bukan simpanse lain, tetapi refleksi
dirinya), maka Gallup
mengecat kuping dan alis simpanse tersebut dengan cat warna merah. Saat
simpanse melihat bayangannya di cermin maka ia mulai memegangmegang bagian
merah dari mukanya, secara psikologis ia merasa bingung dan aneh akan perubahan
mukanya. Manusia pun akan berperilaku
sama seperti simpanse itu apabila pada suatu pagi ia terbangun dan muncul
bintik-bintik merah di mukanya karena proses psikologis yang terjadi sama
dengan yang dialami oleh simpanse tersebut.
Hal
tersebut membuktikan bahwa perilaku tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor fisiologis
tetapi faktor psikologispun berperan dalam menimbulkan perilaku. Jadi cara berpikir
yang dikotomis mengenai penyebab perilaku sangatlah tidak menguntungkan.
b. Berpikir dikotomi
mengenai perilaku yang disebabkan olehfaktor nature atau nurture Pada kenyataannya bukan hanya faktor nature dan
nurture saja yang mempengaruhi perkembangan perilaku, perkembangan janin,
nutrisi, stress, dan stimulasi sensoris juga memegang peranan penting
dalam perkembangan perilaku.
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa perkembangan perilaku bukan hanya dipengaruhi
oleh faktor genetik tetapi juga oleh faktor lingkungan (termasuk didalamnya proses
belajar dan pengalaman). Oleh karena itu pertanyaan yang muncul dalam cara
berpikir dikotomi yang mempertanyakan apakah faktor genetik atau faktor belajar
yang berperan, berubah menjadi "berapa besarperan faktor genetikdan berapa
besarperan faktor lingkungan dalam perkembangan perilaku?". Tetapi
pertanyaan seperti ini sebenarnya tidak akan pernah terjawab dan hanyasebuah
pertanyaan konyol karena padakenyataannnyakapasitas perilaku,
contohnya
seperti inteligensi, tercipta melalui kombinasi faktor genetik dan pengalaman yang
perannya sama besar. Analoginya dapat kita lihat pada contoh berikut ini:
1. Evolusi mempengaruhi faktor genetik yang berpengaruh
pada perilaku
2. Setiap gen individu mengembangkan sistem
saraf yang memiliki karakteristik sendiri
3. Perkembangan sistem saraftiap individu
tergantung pada interaksinya dengan
lingkungan
(contoh pengalaman)
4. Kapasitas dan tendensi perilaku individu
tergantung pada polaaktivitas neural yangkhas,
misalnyapikiran,perasaan,
memori, dan sebagainya
5. Perilaku tiap individu muncul dari
interaksi antara pola aktivitas neural dan persepsi
individu
terhadap situasi saat itu
6. Keberhasilan perilaku individu
memungkinkan gen yang mengandung perilaku untuk
diturunkan
pada generasi selanjutnya.
Oleh
karena itu untuk memahami perkembangan perilaku, para ahli biopsikologi mengajukan
sebuah pilihan cara berpikir yang berbeda daricara berpikir dikotomi yang tidak
menguntungkan dan cara berpikir yang mempertanyakan besar peran masing-masing
faktor dalam perkembangan perilaku.
Cara
berpikir biopsikologi dalam memahami perkembangan perilaku dapat dilihat melaluibagan
1.2. di bawah ini yang sederhana dan logis. Keenam tahap tersebut mencerminkan satu
premis, yaitu bahwa perilaku adalah hasil dari interaksi antara tiga faktor,
yaitu:
(1) kapasitas genetik individu yang merupakah
hasil dari evolusi,
(2)
pengalaman,
(3)
persepsi individu terhadap situasi yang dihadapinya.
D.
PERKEMBANGAN PERILAKU (INTERAKSI ANTARA FAKTOR GENETIK DAN
PENGA
LA MAN)
Di
bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh hasil penelitian yang intinya
menunjukkan bahwa perkembangan perilaku adalah hasil interaksi antara faktor
genetik dan pengalaman.
1.
Seleksi Perkembangbiakan Tikus "Pintar" dan Tikus "Bodoh" Penelitian
ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa perilaku tidak semata-mata didominasi oleh
faktor pengalaman.Dalam penelitian ini Tryon (1934; Pinel, 1993) berusaha membuktikan
bahwa perilaku yang baik dapat dikembangkan melalu pcmilihan keturunan (faktor
genetik). Dalam penelitian ini, tikus yang dikategorikan pintar adalah tikus
yang sedikit sekali melakukan kesalahan ketika menyusuri lorong maze. Sedangkan
tikus yang bodoh adalah tikus yang banyak melakukan kesalahan ketika menyusuri
lorong maze. Ketika tikus-tikus tersebut telah mencapai kemasakan seksual,
tikus jantan yang paling pintar dipasangkan dengan tikus betina yang paling
pintar, demikian juga dengan yang bodoh. Dari keturunan pertama ini dipilih
lagijantan yang paling pintar dengan betina yang paling pintar, demikian
selanjutnya sampai 21 generasi. Pada generasi ke tujuh mulai tampak perbedaan
yang jelas antara keturunan tikus yang pintar dan tikus yang bodoh. Tikus yang paling
bodoh dari keturunan tikus pintar menunjukkan kesalahan yang lebih sedikit dari
pada tikus terpintar dari keturunan tikus bodoh.
Untuk
menghindari bias dari pola asuh, Tryon mengambil sampel beberapa anak tikus keturunan
pintar untuk diasuh oleh tikus bodoh, dan beberapa anak tikus keturunan bodoh diasuh
oleh tikus pintar (crossfostering atau asuh-silang). Tapi hasil
menunjukkan bahwa anak tikus keturunan pintar yang diasuh oleh tikus bodoh
tetap menunjukkan lebih sedikit kesalahan dibandingkan anak tikus keturunan
bodoh, demikian juga sebaliknya, anak tikus keturunan bodoh yang diasuh tikus
pintar tetap menunjukkan lebih banyak kesalahan dibandingkan anak tikus
keturunan pintar.
Walaupun
hasil dari penelitian Tyron menunjukkan bukti yang nyata bahwa genetik mempengaruhi
perkembangan perilaku, namun ada beberapa ahli yang meragukan hasil tersebut
karena definisi "pintar" dalam percobaan ini hanya dibatasi pada
kemampuan menyusuri lorong maze, ada kemungkinan keberhasilan menyusuri maze
bukan semata mata disebabkan oleh keturunan faktor inteligensi yang tinggi
tetapi juga oleh ketajaman mata, atau lebih mudah lapar (sehingga lebih agresif
dalam mendapatkan makanan di luar pintu maze).
Untuk
menunjukkan kelemahan hasil penelitian tersebut, Cooper dan Zubek (1958; Pinel,
1993) mengembang biakkan tikus "pintar" dan "bodoh" seperti
pada penelitian Tyron tetapi dengan menunjukkan pengaruh lingkungan dalam
perkembangan inteligensi. Tikus yang pintar dan yang bodoh diasuh dalam satu kandang
yang sarnatetapi dengan kondisi yang berbeda. Kandang pertama hanya berupa
kandang biasa, sedangkan kandang kedua berupa kandang yang telah dimodifikasi
dengan lorong-lorong kecil, benda-benda yang memiliki daya tarik visual, dan
benda-benda lain yangbertujuan untuk menstimulasi atau merangsang daya
tarik tikus.
Setelah
mencapai kedewasaan, tikus bodoh tidak menunjukkan kesalahan yang lebih besar
daripada tikus pintar apabila ia diasuh dalam kandang yang dimodifikasi.
Sebaliknya tikus pintar menunjukkan kesalahan yang hampir sarnadengan tikus
bodoh apabila ia diasuh dalam kandang konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa
pengalaman dapat mengurangi efek negatif dari faktor genetik yang kurang baik.
2.
Phenylketonuria: Penyimpangan Metabolisme Gen Tunggal Kita lebih mudah
mengenali faktor genetik yang menyebabkan penyimpangan perilaku, daripada
mengenali faktor genetik pada perkembangan perilaku yang normal. Hal tersebut terjadi
karena dalam perilaku yangnormal banyak sekali faktor genetik yang
mempengaruhi, sedangkan dalam perilaku yang tidak normal hanya dibutuhkan satu macam
gen menyimpang.
Contoh
yang mudah dilihat adalah penyimpangan neurologis yang disebut dengan
phenylketonuria atau PKU. PKU ditemukan tahun 1934 oleh Asbjom FoIling, seorang
dokter gigi Norwegia yang curiga pada bau yang ditimbulkan dari urine dua orang
pasiennya yang mengalami keterbelakangan mental (Mental Retarded / MR). Ia
menduga bahwa ada kaitan antara bau tersebut dengan penyimpangan pasiennya.
Setelah
dilakukan analisis terhadap urine mereka, tampak bahwa ada perbedaan kandungan zat-zat
dalam urine mereka dibandingkan orang normal. Folling kemudian mengumpulkan lagi
sejumlah sampel urine dari para penderita MR dan hasilnya menunjukkan kesamaan.
Symptom dari MR ini adalah mudah muntah, kejang, hiperaktifitas dan hiperiritabilitas.
Penyimpangan
ini disebabkan oleh mutasi satu buah gen dalam tubuh manusia yang diturunkan
dari kedua orangtuanya. Gen PKU bersifat resesif, sehingga penyimpangan MR baru
akan muncul pada individu "homozygous" (mewarisi gen PKU dari ayah
dan dari ibunya, sehingga sifat PKU yang resesif pada orangtuanya menjadi
bersifat dominan pada anaknya). Homozigot PKU tidak dapat memproduksi enzim
phenylalanine hydroxylase yang mengubah asam aminophenylalanine menjadi
tyrosine. Akibatnya phenylalanine yang tidak dapat dicerna ini mengganggu
perkembangan otak.
Beberapa
rumah sakit modern sekarang ini memberlakukan diet pengurangan phenylalanine pada
bayi dan ibu hamil yang urinenya menunjukkan kandungan asampheny Ipyruvic yang
sangat tinggi. Cara pencegahan ini umumnya dapat menurunkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh PKU yang homozigot.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa perkembangan PKU adalah hasil dari interaksi antara faktor
genetik dan faktor lingkungan (diet pengurangan phenylalanine). Dalam
kasus ini "waktu" untuk mengkombinasikan pengaruh faktor lingkungan
terhadap faktor genetik juga memegang peranan penting. Semakin dini interaksi
itu dilakukan, maka serangan PKU terhadap otak semakin rendah. Tetapi apabila
interaksi itu dilakukan saat otak telah berkembang dengan sempurna, maka
perubahan yang terjadi hampir tidak tampak.